Oleh:
Adi Prianto (Pengurus DPP PRIMA)
Perang
Israel dan Iran telah masuk pekan kedua sejak Israel resmi menyerang 12 Juni
2025 ke Iran, pola perang kedua negara ini jika mengikuti Ukraina-Rusia, perang
dalam tempo yang panjang maka situasi peperangan berubah menjadi perang kawasan
yang melibatkan banyak Negara menjadi aliansi, saat ini yang kelihatan terbuka
Israel bersama Amerika dan negara-negara G7.
Kata
kunci lain perang Irak-Israel adalah selat Hormuz, selat yang dikelilingi oleh
6 (enam) Negara: Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, Iraq dan
Iran. Kesemuannya adalah penghasil minyak mentah untuk pasokan global. Mengutip
dari www.ceicdata.com, bulan Januari 2025 Arab Saudi memproduksi minyak mentah
8.937.000 barel, Qatar menghasilkan 595.000 barel, Oman juga 814.526 barel, Uni
Emirat Arab menghasilkan minyak mentah sebesar 2,933.000 barel, Irak
menghasilkan 3,999.000 barel dan Iran sejumlah 3,280.000 barel. Selat Hormuz
menjadi lalu lintas distribusi minyak mentah untuk 20% kebutuhan global dari
keenam negara dimaksud, penutupan selat ini dan menjadi pilihan strategi kedua
oleh Iran akan mengunci perdagangan minyak bagi 5 (lima) negara yang tidak ikut
berperang tetapi mengakibatkan resiko kenaikan harga minyak mentah.
Kenaikan
harga minyak dunia memberikan peluang kepada pemain minyak di luar kawasan
Timur Tengah, dua dari Big Oil adalah
Exxon Mobil yang berkantor di Irving Amerika Serikat dan Chevron yang berkantor
di San Ramon California Amerika Serikat. Pada kuartal pertama 2025 Exxon Mobil,
sebagaimana yang mereka umumkan pada laman mereka, mendapatkan keuntungan
sebesar $ 7,7 milyar—sebelum terjadi perang Israel dan Iran--.
Serangan
balik Iran ke Israel 19 Juni 2025, narasi besar yang muncul adalah kecanggihan Iron dome, drone dan radar milik Israel
yang mencegat rudal dan drone kamikaze
di langit Tel Aviv. Narasi besar ini bukanlah murni dari kampanye perang, lebih
kepada narasi yang diciptakan oleh perusahaan untuk meraup untung lebih dari
produksi kecanggihan senjata-senjata yang beroperasi di Israel.
Alat
perang modern milik Isrel tersebut diproduksi oleh Elbit System, perusahaan
publik yang berbasis di Haifa Israel yang didirikan pada tahun 1966, perusahaan
ini memiliki pelanggan tunggal yakni Kementrian Pertahanan Israel (IMOD). Sebagai
intentitas bisnis, Elbit System beroperasi dan memproduksi bidang aerospace, sistem darat dan angkutan
laut, pengawasan dan pengintaian (C4ISR), sistem pesawat tanpa awak (UAS),
elektro-optik canggih, sistem ruang elektro-optik, suite perang elektronik,
sistem intelijen sinyal (SIGINT) dan mengembangkan teknologi baru untuk
pertahanan.
Saham
mayoritas Elbit System terdiri dari Federmann Enterprises Ltd yang memegang
saham sebesar 45,8%, perusahaan milik saudagar kaya bernama Michael Ilan Yoel "Mikey" Federmann berkebangsaan Israel.
Selanjutnya pemegang saham mayoritas adalah Heris Asktiengesellschaft sebesar
8,9%, Psagot Invesment House, FMR, Invesco, Gilder Gagnon Hoewe & Co,
Renaissance Tecnologies, Altshuler Shaham, Delek Group, Vanguard Group dan Deudsche
Bank, Dewan Investasi Pensiun Sektor Publik Kanada, Bank Of Montreal dan Royal
Bank Of Canada.
Tanpa
perang Israel dan Iran, Elbit System tahun 2018 meraup keuntungan mencapai $3,7
miliar dengan pendapatan bersih sebesar $470 miliar, 2020 mencapai $4,6 miliar.
Sekarang adanya perang, anda sudah bayangkan keuntungan bersih yang diraup dari
Elbit System dari arena tarung Iran-Israel.